Mimpi Sang Jurnalis (1)


KEHIDUPAN seperti roda yang berputar. Begitulah kiranya yang dialami oleh Ginting, bocah kecil dari Desa Bukit Bungkul. Ia yang dulu hidup dalam limpahan harta orang tua, kini hidup berkesusahan. Dalam usianya yang masih kanak-kanak, Igin, begitu orang menyapanya, harus bersusah payah menyelesaikan pendidikan dasar.

Tanpa memperdulikan cibiran orang, Igin tak malu mencari pundi rupiah dengan bekerja sehabis pulang sekolah. Kadang Ia mengekor teman-temannya yang juga hidup berkesusahan mencari titik-titik emas disungai nun jauh dari perkampungan. Kadang pula Ia bekerja mengupas kulit jengkol dirumah tauke yang dulu adalah anak buah dari ayahnya, Delpi dan Ibunya Nyai. Dari mendulang, Igin biasanya mendapatkan Rp 3000 perhari. Sementara, dari mengupas jengkol, Igin diupah Rp 100 perkilogram. Lumayan, sehari Igin bisa dapat 30-50 kilogram.

Igin tidak sendirian. Ia memiliki seorang adik bernama Junaidi. Usianya hanya terpaut satu tahun tiga bulan saja. Nasib Igin tak seberuntung si adik, Ujun. Ia yang dilahirkan prematur tak pernah mencicipi air susu Ibu. Hanya madu dan air tajin yang membuatnya tumbuh dengan postur tubuh yang kurus.

Sejak duduk dibangku kelas 3 Sekolah Dasar, Igin sudah harus membanting tulang. Tidak hanya untuk membantu biaya sekolah, tapi juga membantu biaya kehidupan sehari-hari. Kala itu, Delpi yang frustasi karena industri keripik pisangnya, peternakan sapi dan usaha perkebunannya bangkrut, terjebak dalam kelamnya dunia malam.

Tak jarang, Igin dan Ujun mendapati sang ayah pulang dalam keadaan mabuk. Kepulangan sang ayah ke rumah, bukan untuk menemui istri atau anaknya, tapi mencari sisa-sisa harta yang bisa Ia habiskan untuk dijual. Delpi kecanduan judi dan minuman. Seluruh harta habis terjual, pulang ke rumah, Istri pun jadi sasaran amarah. Pukulan tanpa iba disarangkan ke tubuh mungil Nyai yang mempertahankan sisa-sisa harta yang ada.

Igin dan Ujun kecil tak berdaya. Keduanya hanya bisa menyaksikan tragedi itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Nyai yang terkulai karena pukulan Delpi pasrah menyerahkan sisa harta yang ada. Seluruh kebun habis terjual, tinggallah sepetak tanah yang kini menjadi rumah. Delpi tersenyum lalu pergi membawa sertifikat tanah untuk dijual atau digadaikan sebagai modal bermain judi.

"Sakit ya bu? sini Igin obatin," kata Igin sembari mengambil air hangat dan handuk kecil untuk mengompres luka lebam diwajah Nyai.
"Sudah, tidak apa-apa, cuma lecet sedikit," ujar Nyai menahan sakit tak terkira. Terlebih sakit dalam hatinya mengingat apa yang telah dialami dan membayangkan masa depan ke dua anak lelakinya. Nyai sesenggukan menahan tangis mencoba tegar dihadapan kedua anaknya.
"Biar Igin kompresin," ujar Igin sembari mengambil handuk kecil dan mencelupkannya ke air hangat. Ujun hanya terdiam sambil menggulung tirai pengganti pintu kamar.

Pagi-pagi sekali, Igin sudah bersiap berangkat sekolah. Tak lupa Ia juga meyelesaikan pekerjaan rumah dari guru matematikanya. Disekolah, Igin dikenal sebagai anak yang berprestasi. Ia memiliki kemampuan menghitung diatas rata-rata. Bahkan, sang guru yang kalah cepat dalam urusan hitung menghitung pun dibuat kagum.

"Ayo dek, kita berangkat ke sekolah. Nanti terlambat," ucap Igin mengingatkan Ujun yang masih duduk dibangku kelas 1. Sementara Nyai terlihat sibuk didapur menyiapkan sarapan andalannya, nasi goreng putih. Ya, hanya itu yang bisa Nyai sajikan untuk kedua anaknya. Sambil mengaduk nasi dipenggorengan, Nyai pun berpikir menu apa yang bisa Ia sajikan disiang nanti. Lalu, diwarung mana Ia bisa berhutang? Akh, semua pemikiran itu melintas begitu saja seiring gerakan nasi goreng yang tak menentu.

"Sarapan dulu, biar tidak kelaparang. Soalnya, hari ini Ibu tidak bisa kasih uang jajan," ujar Nyai.
"Iya bu," jawab Igin.

Usai sarapan, Igin dan Ujun berlari kecil meninggalkan rumah menuju sekolah yang berjarak lebih dari satu kilometer. Untuk sampai disekolah, Igin dan Ujun harus melintasi pematang kolam ikan milik warga. Melihat keceriaan kedua anaknya itu, air mata Nyai berlinang menetes di pipi lebam bekas pukulan Delpi. (*)

----------------------------------------------***** Bersambung***-----------------------------------------------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pepatah Usang Adat Melayu yang Masih Melekat, Kanti Debih Kebau Kito Dapek Darahnyo

Mendapatkan Penghasilan dari Blog Rp 100 juta Per Bulan, Mau?

Menikmati Manisnya Rupiah dari Google Adsense